28 Mei 2018

Awal Mula, Sejarah dan Mitologi Gudeg

Awal Mula, Sejarah dan Mitologi Gudeg

Yogyakarta memang tidak lepas dari keistimewaannya. Seperti lagu yang dinyanyikan oleh salah satu grup musik hip hop Yogyakarta yaitu "Jogja, Jogja, Jogja Istimewa, Istimewa negerinya, Istimewa orangnya". Sampai saat ini hanya provinsi ini yang memiliki gelar Daerah Istimewa di Indonesia. Kekentalan adat, keramahan orangnya, keunikan budayanya memang sangat melekat pada hati Jogja. Tempat-tempat pariwisata yang ditawarkan juga banyak. Tak hanya tempat, jika yang dibicarakan adalah kuliner, maka Yogyakarta memiliki aset wisata kuliner yang sangat penting dan selalu dilirik wisatawan, yakni Gudeg. 

Gudeg merupakan makanan tradisional dari Yogyakarta. Makanan ini telah dibuat secara turun temurun oleh masyarakat. Seiring berkembangnya jaman, gudeg ternyata menjadi makanan khas Yogyakarta dan sekarang menjadi aset pariwisata yang penting bagi kota ini. Saat ini gudeg pun telah dijadikan usaha rumah tangga dan keluarga. 

Gudeg yang dikenal sebagai makanan khas Yogyakarta yaitu berwarna cokelat gelap dengan cita rasa manis dan terbuat dari nangka muda. Gudeg Yogya adalah gudeg yang lengkap dengan areh (blondo), sambal goreng krecek, dan dilengkapi dengan lauk seperti tempe, tahu, telur, ataupun daging ayam. 

Ternyata gudeg telah dikenal sejak masa lampau. Hal ini dikisahkan atau tertulis dalam Serat Centhini (2008). Kisah tersebut atau pada tahun 1600-an. Dikisahkan Raden Mas Cebolang yang tengah singgah di Desa Tembayat (saat ini berada di Kabupaten Klaten). Di pagi hari Raden Mas Cebolang tiba di padepokan Pangeran Tembayat. Demikianlah mereka duduk bercengkerama sejak pagi dengan Pangeran Tembayat dan tamunya, yaitu Ki Anom, hingga matahari bersinar dan telah terdengar suara bedhuk. Kemudian Pangeran meminta kepada hamba wanita untuk mempersiapkan makanan. 

Beberapa makanan yang disajikan seperti yang ada dalam dhandanggula berikut ini: 

"Liwet lemes akan gurih, golong tumpeng megono, jangan menir ulu pithik, brambang kunci sambel sinantenan, brambang jae santen tempe, cupang sambele jagung, dhedakohan sambel-kemiri, asem sambel lethokan, plapah sambel kukus, untub-untub sambel brambang, loncom jenggot bubur bubuk dhele jemprit, bence sambel keluwak. Lodhoh pindang telya sambel bawang, gudeg sambel goreng cuwer, lumbu sambel cempaluk, sambel-jeram pecel myang manggis, bubuk wijen kacang, dhele sambel windu, uyah goreng bumbu pala, sambel-gocek sambel jae, sambel kunci, sambel cabe ijebang" (Dhandanggula : 41-42).

Gudeg bukan berasal dari dalam kraton. Namun makanan ini justru muncul dari rakyat. Konon, gudeg ada setelah dibukanya Alas (hutan) Mentaok untuk dibangun Kraton Mataram. Di hutan tersebut banyak tumbuh pohon nangka juga pohon kelapa. Para perintis Mataram akhirnya mengolah buah nangka muda menjadi suatu makanan yang diberi nama Gudeg yang juga menjadi menu utama masyarakat Mataram kala itu. Sampai sekarang pun gudeg menjadi makanan yang merakyat. Lauk pauknya mudah didapatkan dan murah. 

Selain itu gudeg terus menerus diolah pada masa lampau karena hampir di setiap pekarangan rumah penduduk ditanam pohon nangka, kelapa dan bambu. Gudeg tidak hanya diolah dari nangka muda saja, namun juga manggar (bunga kelapa) dan rebung (tunas bambu). 

Cara memasak gudeg manggar dan gudeg rebung sama dengan gudeg nangka hanya saja cita rasanya yang berbeda. Gudeg manggar memiliki sensasi rasa liat dan klethis-klethis. Sedangkan gudeg rebung memiliki sensasi rasa krias-krias dan berair.

Dalam penyebutan namanya, gudeg selalu disertai bahan pembuatnya. Bila yang dikatakan hanya gudeg saja maka yang dimaksudkan adalah gudeg dari nangka muda. 

Gudeg manggar merupakan salah satu makanan khas daerah Bantul. Gudeg ini juga telah ada sejak tahun 1600-an. Makanan ini tersurat dalam Serat Centhini (2008) jilid 4. Pada saat itu Raden Cebolang singgah di Banyu Biru. Sewaktu sarapan, Kyai Milasa menjamu beliu dengan berbagai macam makanan. Lengkapnya dalam tembang asmarandhana berikut ini:

"Mringpaheran asesuci, miwahi ngambil toya kadas radi rawal ing neptune, sambekti sawusing badhe sarapan lumadya jadah wajik wedang bubuk, kupat lonthong gudeg manggar. Ulam ayam adhem gajih, bubuk dhele, tigan ayam, mirantos ngancaran age, wawi masputu sarapan, sadaya kang liningan samya tuturuh gya kembul, wus dumugi denya nandah" (Asmarandhana : 60-61).

Dahulu kabupaten Bantul merupakan daerah penghasil kelapa. Pohon kelapa yang ada banyak dimanfaatkan orang seperti batangnya digunakan untuk bahan bangunan. Akibatnya, bila kelapa sedang berbunga, maka ada hasil lain yang bisa dimanfaatkan. Masyarakat kemudian mengolah bunga tersebut menjadi makanan supaya tidak terbuang. Salah satunya diolah sebagai gudeg manggar. 

Meskipun makanan ini makanan khas Bantul, namun gudeg jenis ini memang tidak mudah dijumpai. Warung makan gudeg manggar pun tidak sebanyak gudeg nangka. Hal ini terkait dengan bahan bakunya yang susah didapat dan mahal. Gudeg manggar biasanya diolah pada waktu-waktu tertentu saja. Gudeg manggar biasa disajikan dalam acara pesta. Hal inilah yang membuat gudeg manggar mempunyai nilai lebih. Gudeg manggar memang biasa dinikmati sebagai lauk sehari-hari, namun masyarakat sudah memandang gudeg manggar sebagai makanan mewah untuk pesta. Selain itu gudeg manggar lebih sering disajikan sebagai lauk pauk utama di beberapa hotel berbintang, sehingga gudeg manggar memiliki nilai sosial lebih dibandingkan gudeg jenis lain. 

Berbeda dengan gudeg manggar yang masih bisa ditemui di beberapa warung makan, gudeg rebung saat ini sudah sangat jarang ditemui. Gudeg rebung saat ini mungkin hanya diolah sebagai masakan rumahan saja. 

Dalam pengolahannya, masyarakat masih menggunakan tungku dan kayu bakar sebab untuk menjadi makanan yang lebih enak disantap, gudeg baru disajikan setelah beberapa hari dimasak atau orang Jawa biasa menyebutnya "diingat-nget-ngat-nget" (berkali-kali dihangatkan). Sehingga tungku menjadi alat memasak yang cocok untuk berkali-kali menghangatkan gudeg sebab bahan bakarnya lebih murah dan lebih aman. Gudeg yang biasa disajikan bukan gudeg yang dimasak di hari itu namun biasanya setelah dua hari atau jika warnanya telah berubah menjadi kecoklatan.



Sumber: Gudeg Yogyakarta: Riwayat, Kajian Manfaat dan Perkembangan untuk Pariwisata (Murdijati Gardjito, Eva Lindha Dewi Permatasari)
Foto: Warung Kangen Jogja - Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dukungan Bagi UMKM Lampung

Menjelang bulan Desember 2020 dimana masa pandemi Corona yang belum juga menunjukkan tanda-tanda berakhir dan angka positif harian yang masi...